.:Acehline Community:.
Silahkan mendaftar untuk Access penuh
.:Acehline Community:.
Silahkan mendaftar untuk Access penuh
.:Acehline Community:.
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

.:Acehline Community:.

Computer - Internet - Hacking - Security
 
IndeksPortailPencarianLatest imagesPendaftaranLogin

 

 Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix

Go down 
3 posters
PengirimMessage
zulfah
The Wizard
The Wizard
zulfah


Jumlah posting : 759
Reputation : 2
Registration date : 01.06.07

Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Empty
PostSubyek: Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix   Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Icon_minitimeThu Jul 24, 2008 1:10 pm

ACEH di masa lalu punya suatu bentuk
kesusastraan yang tinggi di wilayah Nusantara. Namun, karena adanya
kemunduran intelektual di wilayah ini setelah pelarangan buku-buku dan
ajaran Ar-Raniri dan Hamzah Fanshuri (abad ke-11 sampai abad ke-14),
Aceh jatuh ke dalam kemunduran intelektual yang parah.

Namun, dalam kurun waktu kira-kira empat abad, ajaran-ajaran Fanshuri
dan Ar-Raniri dapat diwariskan rakyat Aceh dalam wacana sastra lisan
(Oral History). Oral history itu terformat dalam banyak bentuk pola
karya sastra berupa haba (baca: khabar) dan hikayat. Hikayat merupakan
satu bentuk oral history yang paling populer di Aceh dan paling
membangkitkan semangat perjuangan melawan kolonial di Aceh. Lewat
hikayat ini pulalah rakyat Aceh menerima warisan "Martabat Tujuh" dari
ajaran Hamzah Fanshuri dan Ar-Raniri. Ini salah satu dasar yang
mengilhami perjuangan Aceh sampai munculnya hikayat paling terkenal
Hikayat Perang Sabil. Yang dikarang Haji Muhammad Pantekulu. Ia lebih
dikenal dengan panggilan Cik Pantekulu.

Sebelum memulai tulisan ini lebih lanjut, ada baiknya penulis ingin
mengutarakan landasan Kebudayaan Islam yang menopang kehidupan dan
gerak maju umat ini di setiap wilayah (negeri) kaum Muslimin. Penulis
sangat tertarik dengan sebuah judul tulisan Roger Garaudi berjudul
"Segala Seni Membawa Kepada Mesjid dan Segala Mesjid Membawa Kepada
Shalat" dalam bukunya Promeses de l'lslam ('Janji-janji Islam'). 40
tahun lalu, Sidi Gazalba juga pernah menulis judul semacam ini, namun
dalam tinjauan yang berbeda. Dari tulisan Garaudi tersebut, dalam
gambaran kebudayaan Islam, masjid demikian mulia artinya. Dapatlah
dimengerti, mengapa umat Islam Aceh demikian sangat marah tatkala
orang-orang Belanda membakar Masjid Raya Banda Aceh pada tahun pertama
1873 aneksasi Beollanda terhadap Aceh. Setiap orang Aceh yang sadar
arti masjid mengamuk dan menghantam menyerang Belanda dengan sengitnya
di ibu kota Banda Aceh Darus-Salam yang setelah ditaklukkan Belanda
menjadi Kutaraja.

Dalam Islam, kebudayaan (termasuk kesenian) bukanlah tujuan dalam
praktik hidup mereka. Kebudayaan selalu diletakkan di bawah agama. Ini
akan menjadi jelas bila kita ambil pola pembagian kebudayaan oleh
antropolog Barat begitu juga sebagian antropolog Timur seperti
Kuntjaraningrat dan Gazalba. Dalam pebagian sub-sub kebudayaan itu,
agama dijadikan tujuan hidup. Bagi kalangan Muslim, agama sebagai
praktik hidup boleh ditaruh di antara sub-sub kebudayaan, sedangkan
sub-sub kebudayaan harus dilandasi agama sebagai tujuan terakhir.
Dengan bahasa lain, secara makro agama menguasai sub-sub kebudayaan.

Dalam mahkota kebudayaan Islam, selalu tercantum Alquran pada tingkat
tertinggi, Hadis pada tingkat kedua dan Qiyas pada tingkat ketiga. Di
bawah tiga mahkota inilah sub-sub kebudayaan diletakkan, antara lain:
Kehidupan sosial, ekonomi, politik, iptek, filsafat, seni, dan agama.
Ketujuah sub kebudayaan ini mengacu kepada 4 (empat) nilai, antara
lain, nilai historis, nilai estetik, nilai etik, dan nilai makna atau
tujuan akhir. Inilah jawaban dari sebuah pertanyaan dari artikel
seminar Historiografi Karl A. Stenbrink, di IAIN Sunan Kalijaga tahun
1985 yang termaktub "Bagaimana Menentukan Unsur Agama Dalam Kehidupan
Sosial Politik?" (Lihat Muin Umar, Dua Dimensi, Yogyakarta, Mei 1985).

Rasa cinta agama

Mr. S.M. Amin dalam karanganya "Sejenak Meninjau Aceh, Serambi Mekah",
memaparkan bahwa rasa cinta agama dan kemerdekaanlah yang menjiwai
masyarakat Aceh melawan kafir (kaphee) Belanda dalam perangnya melawan
kolonialisme Belanda. (Bunga Rampai Tentang Aceh hal; 46, Bhratara
Jakarta, 1980)

Tidaklah asing jika seorang kopral marsose, seorang veteran Perang
Aceh, H.C. Zentgraaff, yang kemudian menjadi direktur utama surat kabar
berbahasa Belanda terbesar di Hindia Belanda Java Bode melaporkan
tulisan-tulisannya yang sangat fair pandangan matanya tentang
perlawanan dan kepahlawanan rakyat Aceh. Suatu penilaian yang sama
sekali berbeda dengan kebanyakan penulis Belanda yang menaruh atau
melemparkan seluruh sifat jelek dan kebinatangan kepada rakyat Aceh.
Zentgraaff memiliki kekaguman yang luar biasa kepada rakyat Aceh yang
sungguh heroik. Ia menulis bukan berdasar suatu tinjauan selintas
(seketika) sebagaimana kebanyakan wartawan memotret satu kejadian
dengan sekali jepret tanpa pendalaman lebih jauh ke dalam peristiwa.
Zentgraaff meninjau segala-galanya (hampir dari semua sisi) suatu
kejadian yang ditemuinya di medan perang Aceh yang besar dan banyak
menghabiskan kas negara Belanda itu. Catatan-catatan Zentgraaff
disatukan menjadi buku dengan judul De Atjeh yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Perang Aceh.

Aceh di abad ke-19, tepatnya sejak awal aneksasi Belanda terhadap
wilayah ini 24 Januari 1873, menjadi daerah yang paling banyak
dibicarakan dalam peta politik internasional saat itu. Kengerian
Belanda terhadap Aceh sama dengan kengerian Amerika terhadap Vietnam
tahun 1960-1975 yang menyebabkan Amerika menyerah sebelum pertempuran
resmi berakhir. Sebagaimana Aceh, Vietnam juga sangat menguras kas
negara Paman Sam pada tahun 1960-an itu.

Catatan bagi banyak penulis Orientalis, ibadah ritual Haji sangat
mengilhami banyak perlawanan umat Islam di negeri-negeri terjejah sejak
terbukanya jalan ke Timur yang dimulai oleh perjalanan sukses Vasco da
Gama dan Colombus melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Hal ini
juga tak terelakkan bagi Cik Pantekulu, (Haji Muhammad Pantekulu) yang
berkenalan dengan Gerakan Wahabi di Tanah Suci di abad ke-18 atau awal
abad ke-19. Selain itu, ia juga berkenalan dengan tokoh kebangkitan
Islam Jamaludin al-Afghani, Sayid Qutb, Sayid Rasyid Ridha, dan lain
sebagainya.

Cik Pantekulu adalah seorang ulama, yang pada waktu berada di Makkah
banyak membaca epos perang di zaman Rasul, antara lain Hikayat
Perjuangan Hasan bin Tsabit, Hikayat Pejuang Khalid Bin Walid
Perjuangan Kaab bin Zubair, Kepemimpinan Umar bin Khaththab, yang
kesemua cerita tersebut tertuang dalam syair-syair berbahasa Arab yang
bercita rasa sastra tinggi dan kehalusan bahasa yang sulit ditandingi
saat itu.

Dianeksasi Belanda

Pada waktu itu Cik Pantekulu sudah tahu bahwa bulan Januari 1873 Aceh
dianeksasi penjajah Belanda dan membakar Masjid Raya Banda Aceh
Darussalam. Nama kota Banda Aceh diganti kolonial dengan nama Kutaraja.
Ulama Aceh yang cukup besar pengaruhnya di Aceh, Syekh Abdus Saman
(lebih dikenal Syekh Saman) mengumpulkan para ulama lainnya untuk
membangkitkan semangat juang rakyat Aceh melawan Kaphee Belanda. Syekh
Saman menciptakan satu tari perang yang disebut "tari Saman" yang
diselingi pembacaan selawat (puji-pujian kepada Nabi) dan disampirkan
pula dengan syair berbahasa Aceh agar dapat dimengerti oleh
pejuang-pejuang Aceh pesan yang disampaikan Syekh Saman kepada pemuda
dan pemudi Aceh. Syair-syair yang diselipi di antara selawat nabi dalam
tari Seudati yang menggelora itu, mengajak pejuang-pejuang Aceh
berjuang tanpa henti melawan penjajah, memerangi musuh-musuh Allah yang
tak pernah henti-henti mencoba menghancurkan agamanya di mana-mana.
Satu dari syair yang diselipi di antara selawat dalam tari seudati itu
berbunyi:

"Jak tamurang hai boh atee
mujak matee beuta ridla
hudon adoe gulam beuda
jak prang kaphee cang belanda


artinya:

Pergi berperang wahai jantung hatiku
relakan walau pun mati akhirnya
bangunlah dik, sandang senapan
pergi perangi kafir belanda laknat ilahi


Cik Pantekulu yang sudah lama bermukim di Tanah Suci melaksanakan
ibadah haji dan menuntut ilmu, 28 tahun setelah belanda menganeksasi
Aceh, memutuskan untuk pulang ke tanah airnya dengan menumpang kapal
laut. Dalam perjalanannya antara Mekah-Banda Aceh, ia menulis banyak
syair-syair pembangkit semangat perang melawan penjajah kaphe Belanda
yang akhirnya dikenal dengan kumpulan syair Hikayat Perang Sabil atau
(Hikayat Perang Sabee) di tahun 1881. Kita tak perlu heran dengan
kemapuan Cik Pantekulu mencipta puisi-puisi "Hikayat Perang

Sabee" atau kemapuan Syekh Saman menciptakan tari Seudati yang
menggelorakan setiap darah pemuda Aceh mengingatkan kezaliman penjajah
Belanda di masa lalu.

Aceh jauh sebelum kedatangan Belanda di Tanah Rencong merupakan gudang
para ulama sekaligus gudang pemikir keagamaan, tokoh sufi yang punya
kemampuan menulis, baik masalah agama, tasawuf, maupun sastra. Hamzah
Fanshuri dikenal sebagai bapak "Pantun Melayu" yang pertama menciptakan
pantun yang diakui di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura.
Kemudian Aceh dalam masa Pergolakan menentang kolonial Belanda,
menemukan dimensi baru penciptaan syair-syair perlawanan penuh semangat
menentang kezaliman kaphee Belanda.

Inilah bentuk perkembangan syair (kesusastraan) Aceh 4 (empat) abad
setelah ditinggalkan bapak Kesusasteraan Melayu Hamzah Fanshuri yang
banyak bermuatan tasawuf, filsafat, agama, kini berubah menjadi syair
penuh gelora yang menyalakan semangat perang karena musuh bukan lagi
dalam bentuk wacana, tapi secara fisik sudah di depan mata dan
mendahului mereka menyerang umat Islam. Berarti, setelah terputusnya
persajakan Aceh selama kurang lebih 4 (empat) abad kemudian barulah
diteruskan warisan kepenyairan Aceh yang besar itu oleh Cik Pantekulu
yang melahirkan kumpulan puisi Hikayat Perang Sabil. Dalam antologi
ini, gambaran surga menjadi jelas dan nyata di mata rakyat Aceh, rasa
berada di sisi Tuhan apabila syahid di medan juang, kegembiraan menemui
maut di medan jihad adalah harapan yang terus bergaung dan dipompakan
kepada rakyat.

Dalam syair tersebut terungkap bahwa kemenangan Aceh pasti ada di
tangan Allah SWT. Hal ini membuat seluruh rakyat Aceh tak kenal lelah
untuk berjuang. Inilah satu karya Ci Pantekulu yang diciptakannya dalam
perjalanan pulang dari Makkah ke tanah air yang dicintainya yang sedang
dirundung malang dijajah oleh Kaphee Belanda:

Dalam seuruga na saboh ayoen
me alon-alon, mengisa-gisa
soe teumeeneng ek lam ayoen nyan
seulamat iman atee lam dada"


artinya:

Dalam surga ada sebuah ayunan
beralun-alun berputar-putar
siapa yang naik dalam ayunan
selamat iman dalam dada


Syair-syair itu dibacakan malam-malam oleh para ulama kepada
pemuda-pemudi, sebelum besok pagi bersiap-siap menyerang Belanda di
markas-markas pertahanan mereka di kota seperti Kutaraja, Pidie,
Singkel, dsb. Sering syair tersebut dilagukan sambil maragakan tari
"Seudati" yang kian menambah semangat mereka untuk bertempur menjemput
kemenangan. Para pemuda yang dipimpin para ulama sangat yakin bahwa
surga ada di sisi Allah sebagai imbalan jerih payah mereka mengadakan
perlawanan sengit (baca: berjihad) melawan kezaliman Belanda.

Bila banyak penulis Belanda dalam banyak bukunya (terkecuali H. C.
Zentgraaff) menggambarkan orang Aceh itu sejenis binatang buas, tak
beradab, tak memiliki sopan santun, para ulama Aceh juga menyebarkan
persepsi yang juga sama terhadap penjajah yang dianggap sebagai Sayang,
sekelompok manusia kelas rendah, atau hewan buruan yang layak ditombak
dan disantap dagingnya ramai-ramai. Suatu paradoks dalam perjuangan
antara dua pihak, penjajah dan bangsa yang berjuang tak mau dijajah.
Untuk ucapan para ulama terhadap kaphee Belanda yang dianggap Sayang,
dikukuhkan oleh ungkapan seorang ulama muda, Teungku Abdul Jalil (32
tahun), yang berasal dari Aceh Utara di tahun 1942 di mana Jepang baru
saja masuk ke Aceh yang lebih hina lagi martabatnya dibanding Belanda:
Tale Ase, jitamong bui/ (Kita usir Sayang, yang masuk Bee) Lihat
Nourouzzaman As-Shidqi, dalam Muin Umar, Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985.
Sayang adalah simbol bagi penjajah Belanda, sedangkan kedatangan Jepang
yang masuk ke Aceh disimbolkan sebagai Bee. Berikut lanjutan Hikayat
Perang Sabil dari Cik Pante Kulu:

Jak kutatak ayak kudangdi
ie mon hayati ie krueng kaukousa
nyang teumeng jieb ie man hayati
nyang prang sabi asoe seuruga
tulong Allah majizat Nabi
nyang cang kaphe asoe seuruga


yang artinya

mari kutatak ayak kudang di
air perigi hayati serupa sungai kausar
yang dapat minum air perigi untuk hidup
hanya yang berperang sabil
tolong ya Allah mukjizat Nabi
yang bukan kafir, pasti isi surga


Tak terbayang, bagaimana hebatnya daya juang rakyat Vietnam saat
melawan Yankewe (Amerika) di tahun 1960-1975-an. Begitu juga kita
membayangkan kenberanian pemuda-pemudi Palestina yang mengantongi bom
dalam ranselnya, lalu meledakkan diri di tengah komunitas Yahudi Israel
yang sudah setengah abad menjajah bangsa Palestina. Agaknya gambaran
seperti itu tak melebihi apa yang diperankan pemuda-pemudi Aceh melawan
Belanda dari 1873 sampai masuknya Jepang ke tanah Aceh 1942. Dalam hal
ini, Cik Pantekulu mengingatkan pemuda-pemudi Aceh bahwa jangan lagi
ingat kenikmatan dunia, demi surga di sisi-Nya,

Bungong kayee le putik han jimat
alamat kilat ujeuen keuneung sa
nuntulong lon he malaikat
tak le teu ingat ke nekmat donya











__________________
Kembali Ke Atas Go down
yudieross

yudieross


Jumlah posting : 4
Localisation : Medan City
Reputation : 0
Registration date : 30.04.12

Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Empty
PostSubyek: Re: Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix   Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Icon_minitimeThu May 03, 2012 7:27 pm

Sangat Mengesankan Bang Zulfah...

dimanakah saya bisa mendapatkan buku :
Aceh / oleh H.C. Zentgraaff terjemahan oleh Aboe Bakar
terbitan Jakarta : Beuna, 1983.

mohon informasinya Abangda sekalian, Terimakasih Banyak
Kembali Ke Atas Go down
anoname
Newbie in training
Newbie in training
anoname


Jumlah posting : 128
Reputation : 2
Registration date : 17.04.07

Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Empty
PostSubyek: Re: Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix   Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Icon_minitimeSat May 05, 2012 3:46 pm

aceh : http://www.mediafire.com/?6vugwccjtzn27w7
pass : www.atjehcyber.net
Kembali Ke Atas Go down
yudieross

yudieross


Jumlah posting : 4
Localisation : Medan City
Reputation : 0
Registration date : 30.04.12

Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Empty
PostSubyek: Re: Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix   Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Icon_minitimeTue May 08, 2012 11:12 am

ZeRoTracK wrote:
aceh : http://www.mediafire.com/?6vugwccjtzn27w7
pass : www.atjehcyber.net

sudah saya donlot Abangda ZeRoTracK..
Terimakasih banyak... Smile

Tapi sebenarnya saya pengen baca yang versi terjemahan oleh Aboe Bakar
terbitan Jakarta : Beuna, 1983.

karena yg bahasa Belanda itu saya Gak Ngerti sama sekali Razz
jadi saya bingung bacanya..

kalo ada yg versi terjemahan Indonesia mohon saya di beritahu Link nya ya.. Smile
sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih buat Abangda Sekalian Smile
Kembali Ke Atas Go down
anoname
Newbie in training
Newbie in training
anoname


Jumlah posting : 128
Reputation : 2
Registration date : 17.04.07

Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Empty
PostSubyek: Re: Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix   Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Icon_minitimeThu May 10, 2012 3:49 am

yudieross wrote:
ZeRoTracK wrote:
aceh : http://www.mediafire.com/?6vugwccjtzn27w7
pass : www.atjehcyber.net

sudah saya donlot Abangda ZeRoTracK..
Terimakasih banyak... Smile

Tapi sebenarnya saya pengen baca yang versi terjemahan oleh Aboe Bakar
terbitan Jakarta : Beuna, 1983.

karena yg bahasa Belanda itu saya Gak Ngerti sama sekali Razz
jadi saya bingung bacanya..

kalo ada yg versi terjemahan Indonesia mohon saya di beritahu Link nya ya.. Smile
sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih buat Abangda Sekalian Smile

bahasa belanda ya Very Happy emang sih, aq juga dapat nya begitu bang, tapi kan ada google translate, aq blom nemuin terjemahan nya, ntar aq cari dulu Smile
Kembali Ke Atas Go down
yudieross

yudieross


Jumlah posting : 4
Localisation : Medan City
Reputation : 0
Registration date : 30.04.12

Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Empty
PostSubyek: Re: Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix   Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Icon_minitimeThu May 10, 2012 12:53 pm

ZeRoTracK wrote:

bahasa belanda ya Very Happy emang sih, aq juga dapat nya begitu bang, tapi kan ada google translate, aq blom nemuin terjemahan nya, ntar aq cari dulu Smile

sebelumnya saya ucapkan banyak2 terimakasih Bang...

daku Menunggumu Bang.. Smile
Kembali Ke Atas Go down
Sponsored content





Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Empty
PostSubyek: Re: Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix   Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix Icon_minitime

Kembali Ke Atas Go down
 
Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Download Buku Aceh Sepanjang Abad
» Gender Dalam Budaya Masyarakat Aceh
» PENGRUH FAKTOR BUDAYA ACEH DALAM MENJGA PERDAMAIAN DAN REKON
» Aceh ku sayang, Aceh ku malang
» Apa itu aceh, aceh itu apa ? aceh adalah...

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
.:Acehline Community:. :: Lain - lain :: All About Atjeh-
Navigasi: