Dalam semalam, pemerintah telah mengekskusi tiga orang terpidana mati. Mula-mula Dukun Usep yang divonis mati Pengadilan Negeri Rangkasbitung tanggal 10 Maret 2008 karena terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap delapan orang yang ingin menggandakan uang melalui "Bank Gaib". Usep yang bernama lengkap Tubagus Yusuf Maulana dieksekusi mati di sebuah hutan di daerah Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Jumat 22.30 WIB.
Berikutnya ibu dan anaknya, dua terpidana mati Sumiasih dan Sugeng yang divonis mati pada tahun 1988 dalam sebuah kasus pembunuhan di Jawa Timur diekskusi mati sekitar pukul 00.20 WIB.
Entah apa alasan pemerintah mengekskusi mati secara "borongan", sehingga tiga nyawa pegat dalam semalam. Adakah ini semacam peringatan bagi para "penunggu" vonis mati lainnya yang jumlahnya puluhan orang di seluruh penjara republik ini? Bahwa kematian bisa kapan saja menjemput mereka, secara sendiri-sendiri atau secara "berombongan".
Ah..., tapi saya tak akan mempersoalkan keputusan pemerintah yang telah mengekskusi tiga orang itu secara "berombongan". Maklumlah, saya tak cukup pintar untuk mereka-reka di balik tabir alasan yang diambil oleh presiden sehingga ia tak meluluskan grasi yang diminta para terpidana mati itu.
Entahlah, tiap kali mendengar kematian menjemput siapa saja, otak saya senantiasa memikirkan sebuah negeri asing yang sunyi bernama kuburan. Sebuah ketiadaan yang penuh teka-teki, tapi pada suatu kali pasti akan saya temui.
Kematian..., kematian, kendati semua agama memberikan gambaran tentang kematian, ia tetaplah tabir gelap, sebab yang pergi ke "sana" belum pernah kembali untuk bercerita.
Teolog kelahiran Renfrew, Scotland, Macquarrie mengatakan, kematian adalah sebuah problem religius yang menyentuh nadir dan mencuatkan refleksi teologis tentang kebermaknaan hidup. Dalam bahasa Thomas Koten, seorang sarjana filsafat dan teologi, dari refleksi filosofis, “sosok kematian” telah merembes ke rana pemikiran dan refleksi tentang teologi, yakni teologi kematian.
Sementara trio teolog yang memuja aliran Teologi Proses (proces theology) David R Griffin, John Cobb, dan Norman Pittenger, menegaskan, kematian merupakan suatu proses manusia dalam eskatologisnya—menuju suatu yang eskaton—di alam kehidupan yang lain, tanpa akhir, yang keberadaannya hanya bisa diteropong lewat kaca mata iman.
Jika mau diringkas, hampir semua aliran teologi menagarai kematian sebagai proses sejarah kehidupan manusia yang menuruti kendali dan dorongan Kuasa Ilahi menuju ke persinggahan terakhir atawa eskaton.
Saya sepaham dengan esais Prancis yang hidup pada abad XVI Michel Eyquem de Montaigne, Katanya, "Kematian adalah satu kondisi yang kita rancang; kematian adalah bagian dari kita. Tugas terus menerus dari hidup kita adalah membangun kematian kita". Montaigne meminta agar setiap orang sebaiknya selalu siap untuk meninggal. Ivan Illich menambahkan masing-masing karakter menari dengan kematiannya sendiri selama hidupnya.
Mereka yang mati karena sakit, karena terpidana mati, bukankah mereka sendiri yang membangun jalan itu menuju pada kematian itu. Bayangkanlah jika Dukun Usep tak memilih untuk berprofesi sebagai dukun yang menghabisi delapan nyawa "pasiennya", bayangkanlah jika Sumiasih dan Sugeng tak menghabisi keluarga Letkol Agus Purwanto, tentu jalan menuju regu tembak tak bakal terjadi.
Mengenangkan kematian tiga orang saudara sebangsa kita yang diekskusi mati pada Jumat malam itu, bagi saya bukanlah sebuah kesia-siaan. Saya percaya, ada faedahnya juga kita mengingat kematian. Setidaknya ia bisa mendorong saya untuk bersiap-siap menghadapi kematian sebelum datangnya. Menghentikan angan untuk lama tinggal di dunia yang fana ini, karena panjang angan-angan merupakan sebab paling besar lahirnya kelalaian. Ya, ya..., saya tak ingin dikuasai oleh iblis yang menggoda Adam dan Hawa yang merayu mereka untuk melalui "pintu" keinginan untuk hidup kekal selama-lamanya. "Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup) dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha [20]: 120).
Mengingat kematian, setidaknya juga bisa mencegah kerakusan dan ketamakan terhadap nikmat duniawi. Melembutkan hati seraya mengenangkan saat mati tiada ada yang kita bawa selain amal baik kita. Mendorong kita untuk bisa memaafkan dan menerima kesalahan serta kelemahan orang lain.
Hingga pagi menjelang, saya tak mendengar atau membaca pernyataan dari pihak mana pun tentang ekskusi mati tiga orang itu. Saya pun bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Bukankah mereka bertiga juga masih punya KTP, punya alamat dan itu artinya masih diakui pula sebagai rakyat Indonesia? Adakah mereka bertiga sudah tak "diitung" lagi sebagai rakyat?
Bukankah kita diajari untuk berlaku santun kepada yang mati. Cuma yang baik-baik saja yang boleh kita bicarakan tentang si mati. Bahkan kita pun diajari menghentikan langkah kita, laju kendaraan kita, tatkala usungan mayat melintas di depan kita. Siapapun itu yang mati.
Eh omong-omong, pada malam yang sama dengan eksekusi mati tiga orang itu, Presiden SBY dan nyonya menyanyikan lagu bernuansa gembira berjudul Nasonang Do Hitana Dua (kita berdua yang berbahagia) pada penutupan Pesta Danau Toba (PDT) di Sumatera Utara.
pantaskah seorang presiden bernyanyi sementara ada warganya yang dieksekusi mati????